Terlepas dari kafir-tidaknya merayakan natal, jika seseorang memilih satu hari dan mendedikasikan hari tersebut untuk memuliakan Tuhan, maka hal itu diperbolehkan oleh Alkitab, asalkan digunakan untuk memuliakan Yehuwa. Mereka yang tidak melakukan hal yang sama dengan orang itu, juga melakukannya untuk Yehuwa.
(Roma 14:5-6) Ada orang yang menilai suatu hari lebih penting daripada hari yang lain; orang lain menilai semua hari sama; hendaklah setiap orang yakin sepenuhnya dalam pikirannya sendiri. 6 Ia yang berpegang pada suatu hari, melakukannya untuk menghormati Yehuwa. Juga, ia yang makan, melakukannya untuk menghormati Yehuwa, sebab ia mengucapkan syukur kepada Allah; dan ia yang tidak makan, melakukannya untuk menghormati Yehuwa, namun mengucapkan syukur kepada Allah.
Di sinilah salah satu ajaran Alkitab yang memperbolehkan adanya perbedaan pendapat dalam jemaat Yehuwa, berkaitan dengan pengajaran yang kurang fundamental.
Keputusan yang didasari oleh hati nurani ini akan dipertanggungjawabkan secara pribadi kepada Allah.
(Roma 14:12) Oleh karena itu, kita masing-masing akan memberikan pertanggungjawaban kepada Allah.
Oleh karena hal ini berdasarkan oleh hati nurani, maka hal ini tidak dapat dihakimi oleh orang lain.
(Roma 14:13) Sebab itu biarlah kita tidak lagi menghakimi satu sama lain, tetapi sebaliknya buatlah keputusan ini, yaitu untuk tidak menaruh di hadapan seorang saudara, suatu balok sandungan atau penyebab untuk tersandung.
Oleh karena itu, tak salah jika kita katakan, “Kesalahan orang yang merayakan natal adalah ketika ia mengharuskan semua orang juga harus merayakan natal. Kesalahan orang yang tidak merayakan natal adalah ketika ia melarang semua orang juga harus merayakan natal.”
Menara Pengawalpun setuju dengan pandangan ini. Akan tetapi, mengapa Menara Pengawal masih saja melarang perayaan natal? Memang perihal perayaan natal ini bukanlah suatu hal yang harus kita permasalahkan secara intensif, tetapi artikel ini hanya sebagai pemerkaya pemahaman kita.
Ulasan Menara Pengawal berikut (diambil dari Menara Pengawal, 1/9, 2004 hlm. 8-10, Muliakan Allah ”dengan Satu Mulut”) mungkin akan sangat baik untuk menjelaskan hal ini.
[Kutipan]
”Sambutlah Satu Sama Lain”
5 Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus membahas suatu situasi yang menimbulkan beragam pendapat. Ia menulis, ”Ada orang yang mempunyai iman bahwa ia boleh makan segala sesuatu, tetapi orang yang lemah makan sayur-sayuran.” Mengapa demikian? Nah, di bawah Hukum Musa, daging babi tidak boleh dimakan. (Roma 14:2; Imamat 11:7) Namun, Hukum Musa tidak berlaku lagi setelah Yesus mati. (Efesus 2:15) Kemudian, tiga setengah tahun setelah kematian Yesus, seorang malaikat memberi tahu Petrus bahwa dari sudut pandangan Allah tidak ada makanan yang boleh dianggap cemar. (Kisah 11:7-12) Mengingat faktor-faktor ini, beberapa orang Kristen Yahudi mungkin merasa bahwa mereka boleh makan daging babi—atau menikmati makanan lain yang dahulu dilarang di bawah Hukum.
6 Namun, bahkan gagasan tentang menyantap makanan yang tadinya najis itu mungkin sudah cukup memuakkan bagi orang Kristen Yahudi lainnya. Orang-orang yang sensitif itu mungkin secara naluri merasa tersinggung melihat saudara-saudara Yahudi mereka dalam Kristus menyantap makanan seperti itu. Selain itu, beberapa orang Kristen non-Yahudi, yang agamanya dahulu agaknya tidak pernah menetapkan pantangan makan, mungkin bingung bahwa ada yang mempermasalahkan soal makanan. Tentu saja, tidaklah salah bagi seseorang untuk berpantang makanan tertentu, asalkan ia tidak berkeras bahwa pantangan seperti itu perlu untuk memperoleh keselamatan. Akan tetapi, pandangan yang berbeda-beda dapat dengan mudah memicu perbantahan di sidang. Orang Kristen di Roma perlu berhati-hati agar perbedaan seperti itu tidak menghalangi mereka untuk memuliakan Allah ”dengan satu mulut”.
7 Paulus memberikan contoh kedua, ”Ada orang yang menilai suatu hari lebih penting daripada hari yang lain; orang lain menilai semua hari sama.” (Roma 14:5a) Di bawah Hukum Musa, tidak ada pekerjaan yang boleh dilakukan pada hari Sabat. Bahkan bepergian dilarang keras pada hari itu. (Keluaran 20:8-10; Matius 24:20; Kisah 1:12) Akan tetapi, sewaktu Hukum disingkirkan, larangan-larangan itu tidak berlaku lagi. Namun, beberapa orang Kristen Yahudi mungkin merasa kikuk untuk bekerja atau bepergian jauh pada hari yang tadinya mereka anggap kudus. Bahkan setelah menjadi orang Kristen, mereka mungkin telah menyisihkan hari ketujuh secara khusus untuk tujuan rohani, meskipun dari sudut pandangan Allah penyelenggaraan hari Sabat tidak berlaku lagi. Salahkah mereka? Tidak, asalkan mereka tidak berkukuh bahwa perayaan Sabat dituntut oleh Allah. Oleh sebab itu, karena mempertimbangkan hati nurani saudara-saudara Kristennya, Paulus menulis, ”Hendaklah setiap orang yakin sepenuhnya dalam pikirannya sendiri.”—Roma 14:5b.
8 Namun, meskipun dengan hangat menganjurkan saudara-saudaranya untuk bersabar kepada orang-orang yang bergulat dengan persoalan hati nurani, Paulus dengan keras mengecam orang-orang yang mencoba memaksa rekan seimannya untuk tunduk kepada Hukum Musa sebagai tuntutan untuk memperoleh keselamatan. Misalnya, sekitar tahun 61 M, Paulus menulis buku Ibrani, sebuah surat yang ampuh kepada orang Kristen Yahudi yang menguraikan secara gamblang bahwa ketundukan kepada Hukum Musa itu tidak ada nilainya karena orang Kristen memiliki harapan yang lebih unggul berdasarkan korban tebusan Yesus.—Galatia 5:1-12; Titus 1:10, 11; Ibrani 10:1-17.
9 Seperti yang telah kita lihat, Paulus memperlihatkan bahwa perbedaan pilihan tidak akan mengancam persatuan selama tidak ada prinsip Kristen yang jelas-jelas dilanggar. Oleh karena itu, Paulus bertanya kepada orang Kristen yang hati nuraninya lebih lemah, ”Mengapa kamu menghakimi saudaramu?” Dan, ia bertanya kepada yang lebih kuat (mungkin yang hati nuraninya mengizinkan mereka menyantap makanan tertentu yang sebelumnya dilarang di bawah Hukum atau melakukan pekerjaan duniawi pada hari Sabat), ”Mengapa kamu juga memandang rendah saudaramu?” (Roma 14:10) Menurut Paulus, orang Kristen yang hati nuraninya lebih lemah harus menahan diri agar tidak mengecam saudara-saudara mereka yang pandangannya lebih luas. Demikian pula, orang Kristen yang kuat tidak boleh memandang rendah orang yang hati nuraninya masih lemah dalam beberapa bidang. Mereka semua hendaknya merespek motif pribadi orang lain dan tidak ”berpikir bahwa diri [mereka] lebih tinggi daripada yang semestinya”.—Roma 12:3, 18.
10 Paulus menjelaskan pandangan yang seimbang dengan cara ini, ”Hendaklah orang yang makan tidak memandang rendah orang yang tidak makan, dan hendaklah orang yang tidak makan tidak menghakimi orang yang makan, sebab Allah telah menyambut orang itu.” Selanjutnya, ia menyatakan, ”Kristus juga menyambut kita, agar Allah dimuliakan.” Karena baik orang yang kuat maupun yang lemah sama-sama diterima Allah dan Kristus, kita hendaknya memiliki sikap lapang hati seperti itu dan ’menyambut satu sama lain’. (Roma 14:3; 15:7) Siapa yang bisa membantah hal itu?
[Akhir kutipan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar