
Penting:
saya tidak pernah mengatakan bahwa kita harus merayakan Natal, melainkan saya mengatakan kita boleh merayakan Natal. Roma 14:5-6 mengatakan bahwa hati nurani masing-masing kita yang menentukan apakah kita boleh merayakan hari raya atau tidak. Dan Kolose 2:16 bahkan mengatakan, "... jangan biarkan seorang pun menghakimi kamu dalam hal ... berkenaan dengan suatu perayaan" |
Jika memang (karena juga ada fakta yang mentakan sebaliknya) Natal berasal dari kekafiran, maka Natal harus tetap dihindari, karena sudah najis (seperti halnya permen yang dipungut dari selokan).
Benarkah demikian?
Sebenarnya tidak, karena jika permen yang dari selokan itu dibersihkan dengan benar-benar bersih hingga tak bersisa kuman, tidak masalah untuk dimakan.
Sama seperti halnya jika memang Natal berasal dari kekafiran, tetapi jika sudah dibersihkan dengan benar-benar bersih dengan menggantikan objeknya menjadi Yesus, dan dengan cara perayaan yang benar (tanpa mabuk-mabuk, pesta pora tidak jelas, tetapi dengan ibadah dan persekutuan dengan Saudara-saudari seiman).
Nah, sebenarnya penjelasan ilustrasi permen ini masih bisa diteruskan: jika permen itu sudah benar-benar steril (tanpa satu kumanpun), itu adalah masalah hati nurani masing-masing kita untuk memakannya, persis seperti isu boleh-tidaknya Natal.
Jika ada yang makan permen yang telah disterilkan, itu tidak akan merugikan dia (karena sudah benar-benar bersih).
Jika ada yang menolak makan permen itu, juga tidak apa-apa; dia tidak akan mati kelaparan karena menolak memakannya.
Inilah titik di mana hati nurani yang berperan. Sebenarnya, Publikasi pernah mengatakan bahwa perayaan hari raya itu tergantung hati nurani (bisa di baca di sini ). Jadi, perkara boleh atau tidaknya merayakan hari Natal adalah hati nurani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar